Tidak ada yang meragukan tentang peran penting seorang ibu dalam pendidikan anak-anaknya. Justru yang sering menjadi perdebatan adalah bagaimana seorang ayah memerankan dirinya dalam pendidikan seorang anak. Sebagian berpendapat bahwa peran utama pengasuhan dan pendidikan anak adalah seorang ibu, sementara ayah cukup memenuhi kebutuhan materi sang anak saja dan menyibukkan diri dengan dunia kerja. Ada juga yang menyisihkan hari-hari liburnya saja untuk keluarga secara umum, meskipun tidak secara khusus memberi perhatian dan waktu untuk anak. Nah, bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang peran ayah dalam pengasuhan anak ini?
Kerja sama Ibu dan Ayah
Dalam Islam, peran mendidik anak bukanlah mutlak kewajiban ibu semata. Keberhasilan pendidikan anak memerlukan “Kerja sama” yang kompak antara ayah dan ibu. Kalau ayah dan ibu mempunyai “target dan cara” berbeda dalam mendidik anak, tentu anak akan bingung bahkan bisa memanfaatkan orang tua menjadi kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya. Sebagai contoh, anak yang mencari alasan untuk tidak sholat. Ayahnya meminta tetap sholat tapi ibunya malah membelanya. Jangan salahkan anak jika mengatakan “Kata umi (ibu) boleh tidur dulu baru sholat jika mengantuk, tiap pagi aku kan mengantuk, baru jam 7.00 aku tidak mengantuk dan bisa sholat shubuh…”
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitroh, ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi (HR Al-Bukori)
Imam Syafi’i memang ditinggal wafat ayahnya ketika ia berusia 6 tahun. Tapi isi kepala ayahnya itu sudah dipindahkan kepada sang ibu, jadi ibunya lah yang meneruskan.
Jadi kesimpulannya adalah, yang membangun visinya adalah ayah, dan istrinya yang mengisi kerangka itu.
Posisi Ayah dalam Islam
Dalam shiroh, Rasulullah saw justru memanggil sang ayah ketika ada seorang anak yang mencuri. Lalu sang anak pun menyampaikan bagaimana ayanya tidak memberikan ibu yang baik baginya, tidak memberikan pendidikan yang baik untuknya dan tidak memberi nama yang baik kepadanya
Di dalam Al Qur’an, banyak kisah-kisah justru menceritakan bagaimana besarnya peran ayah dalam pendidikan anak. Salah satu contoh yang jelas adalah kisah Luqman yang memberi nasehat kepada anak-anaknya dengan panggilan penuh kelembutan. Ya bunayya (wahai anakku)…Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS Luqman:13)
Kita lihat pula bagaimana Nabi Sulaiman yang dididik oleh ayahnya, Nabi Daud, khusus untuk menggantikan posisinya sebagai raja, atau Nabi Yusuf yang mendapatkan curahan kasih-sayang dari Nabi Ya’kub. Juga Rasulullah sendiri, yang meskiun ditinggal oleh ayahnya sejak dalam kandungan , tapi peran sang ayah digantikan oleh kakek dan pamannya yang mengasuhnya di waktu beliau kecil dan sedikit banyak menyuburkan sifat-sifat kepemimpinan dan bakat dagang beliau setelah dewasa.
Kita lihat pula bagaimana Imam Hasan Al Banna mendapat sentuhan pendidikan yang kuat dari sang ayah tercinta. Yusuf Qordhawy dalam bukunya Mu’ayyasah ma’al Qur’an mengatakan : “ Dahulu saya tidak tahu mengapa ayah saya begitu mengkondisikan saya untuk hafal Qur’an di usia 10 tahun”
Peranan penting seorang ayah
“Anita mau seperti abi (ayah), orangnya mempunyai banyak teman dan wawasannya juga luas”.
“Sejak aktif di organisasi masyarakat, kalau di rumah abi (ayah) sering marah-marah sama umi (ibu), kenapa anita tidak boleh marah-marah sama adik?”
Ungkapan-ungkapan diatas merupakan bukti nyata betapa seorang ayah memiliki peranan yang amat besar terutama sebagai “figur” atau sosok identifikasi bagai anak-anaknya. Yaitu sosok yang bisa menjadi model atau contoh yang dapat ditiru terutama dalam pembentukan karakter diri anak sesuai dengan peran jenis kelaminnya. Hal ini karena ada peran-peran ayah yang khas, yang memang sulit untuk dilakukan oleh seorang wanita (ibu).
Bagi anak perempuan, adanya figur ayah dapat menjadi model dalam mempelajari hal-hal yang biasanya dominan pada laki-laki seperti ketegasan, berpikir rasional, disiplin, kontrol emosi, rasa percaya diri, kekuatan, kepemimpinan, otoritas dan sebagainya.
Bagi anak laki-laki, adanya figur ayah dapat menjadi model untuk mempelajari bagaimana bertingkah laku, bersikap dan berpikir seperti seorang laki-laki serta bagaimana mengembangkan sisi maskulin anak.
Biasanya anak laki-laki lebih suka meniru ayahnya. Belajar banyak hal seperti bagaimana memperlakukan perempuan, mengendalikan emosi, cara bergaul, cara mempertahankan pendapat, cara mandiri, cara bertanggung jawab, cara memimpin dan lain-lain.
Untuk menjadi panutan bagi anak, seorang ayah perlu memiliki integritas, ketegasan dan konsisten dalam menerapkan aturan, sehingga anak tidak bingung mengenai apa yang baik dan buruk. Selain itu sosok ayah juga dapat menjadi teladan bagaimana berperan sebagai pemimpin. Apakah ayah seorang yang demokratis, otoriter atau permisif dalam memimpin. Sejauh mana ayah mampu memecahkan masalah-masalah keluarga dengan bijaksana, semuanya menjadi bekal dalam menumbuhkan potensi kepemimpinannya kelak.
Melihat pentingnya peran ayah dalam pembentukan karakter anak, berikut beberapa Tips praktis menciptakan figur ayah yang baik bagi anak :
1. Selalu sediakan waktu untuk berinteraksi dengan anak. Walaupun hanya sebentar, sosok ayah sangat penting menumbuhkan sisi maskulinitas anak. Keterlibatan melalui permainan, pemberian pujian/dukungan, menanyakan kejadian-kejadian yang dialami anak hari itu, mendongeng, mewarna dll
2. Sebagai ayah hindari tingkah laku menghina, meremehkan, memarahi, membandingkan dan diktator karena bisa menimbulkan perilaku agresif dan tidak kooperatif pada diri anak.”Itu akibatnya, kalau kamu malas belajar. Lihat tuh si Novi nggak susah disuruh belajar” (membandingkan)
3. Jangan bersifat pasif atau acuh tak acuh pada anak. Usahakan terlibat aktif mentransfer nilai-nilai yang baik pada anak.
4. Jadilah figur idola bagi anak. Misalnya memberikan kasih sayang, perhatian dan sikap yang tulus, teladan perilaku yang baik, teladan kemandirian, kepemimpian dan ketegasan, sikap adil, kepiawaian bergaul dan lain-lain
5. Jika tidak ada seorang ayah dalam rumah sehingga terjadi kekosongan figur ayah maka sang ibu harus memastikan peran pengganti bisa dimainkan oleh kakek, paman, guru atau orang lain yang dianggap pantas sebagai teladan dan bisa menjalin hubungan harmonis dengana anak.
“Laisa minna mallam yarham shoghiironaa waya’rif haqqo kabiirina”
“Tidaklah termasuk golongan kami, orang-orang yang tidak mengasihi anak kecil diantara kami dan tidak mengetahui hak orang besar (lebih tua) diantara kami” (HR abu dawud dan tirmidzi)
“Seseorang A’rabi telah mendatangi Nabi Saw dan berkata.”Apakah engkau menciumi anak-anakmu, sedang kami belum pernah melakukan itu.’Maka Nabi Saw bersabda: “apakah engkau ingin Allah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu ?” (HR Bukhori)
Kisah sahabat Al-Aqra’ punya 10 anak dan tdk pernah menciuminya, sabda Rasulullah setelah menciumi Al-Hasan bin Ali : “Barangsiapa yang tidak mengasihi tidak akan dikasihi” (HR Bukhori)
“Ketika masih kecil, Aku pernah berada di bawah pengawasan Rasulullah Saw dan tanganku bergerak mengulur ke arah makanan yang ada dalam piring, maka Rasulullah Saw berkata kepadaku, “Wahai anakku, sebutkanlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah (hanya) yang ada di sampingmu”
HR abu dawud dan Hakim :
Perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan Salat apabila mereka telah berusia 7 tahun, dan apabila mereka telah berusia 10 tahun, maka pukullah mereka (apabila tetap tidak mau melaksanakan Salat itu) dan pisahkanlah tempat tidur mereka”
Islam secara bertahap berupaya mendidik anak dengan peringatan, pemboikotan sampai kepada pukulan yang tidak melukai. Para Pendidik tidak boleh menggunakan cara paling keras jika cara yang ringan dapat berguna. Inilah puncak upaya Islam di dalam mendidik anak-anak.
Orang tua tidak boleh memberinya kebebasan mutlak sehingga anak bisa berbuat apa saja semuanya. Karena itu, diperlukan adanya konsep yang menyeimbangkan sikap orang tua terhadap anak.
Orang tua harus menerapkan sikap lembut dan keras dengan batasnya masing-masing.
Cara mendidik yang benar adalah dengan menyeimbangkan antara pujian dan hukuman bagi anak. Pujian yang berlebihan akan berakibat sama buruknya dengan hukuman berlebihan karena kedua-duanya akan mengganggu keseimbangan mental anak dan membuatnya gelisah.
“Anak yang tumbuh besar dalam lingkungan kasih sayang yang berlebihan akan lemah dalam menghadapi tantangan kehidupan dan tidak mampu untuk berdiri di atas kaki sendiri”
Ketika sakit, anak membutuhkan perhatian dari orang tuanya. Namun, jangan sampai perhatian mereka atas keadaannya ini menjadi berlebihan. Usahakan untuk menjaga keseimbangan dalam memberikan perhatian kepadanya. Perhatian yang berlebihan yang biasanya diberikan oleh para ibu kepada anak saat jatuh sakit, akan membuat anak tersebut sombong, cengeng, gampang mengadu, dan mudah menyerah
Artikel diambil dari http://fatkur.pks-surabaya.or.id